“Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam nama-Ku, diberikan-Nya kepadamu" Yohanes 15:16

Jumat, 05 Oktober 2012

Markus 10:2-16 (Khotbah Epistel)

Prinsip Rumah Tangga Kristen

Pendahuluan
Perkawinan dan rumah tangga adalah salah satu topik yang sangat menarik dan penting untuk dipelajari oleh orang Kristen, baik mereka yang sedang berencana untuk berumah tangga maupun mereka yang telah berumah tangga. Salah satu tujuan penting mempelajari topik ini agar “...kamu semua penuh hormat terhadap perkawinan...” (Ibrani 13:4a). Mengapa perlu menghormati perkawinan? Karena perkawinan dan rumah tangga adalah sebuah lembaga yang didirikan oleh Allah sendiri.

Penjelasan
Ayat 2-6: Kembali pada hakekat perkawinan
Perikop ini sebenarnya menggambarkan bagaimana para orang Farisi ingin menjebak Yesus dengan pertanyaan- pertanyaan supaya Yesus kedapatan oleh mereka menentang hukum Taurat Musa. Namun Yesus yang adalah Anak Allah, mempunyai pengertian yang sempurna tentang hukum Taurat Musa, dan bagaimana sampai Musa mengeluarkan ketentuan yang memperbolehkan perceraian. Musa memperbolehkan perceraian, karena kekerasan hati bangsa Israel yang pada masa dahulu memang menganggap wanita sebagai warga kelas rendah, bahkan seperti budak, hampir seperti binatang. Maka Musa melindungi hak martabat wanita dari perlakuan semacam ini, sebab seandainya wanita tersebut dimadu, tentu kondisinya lebih buruk lagi. Maka ketika Musa  memperbolehkan membuat surat cerai, ini sudah merupakan ‘kemajuan’ kondisi sosial yang memperhatikan martabat pihak wanita. Sebab pada saat suaminya ‘mengusir’nya, ia dapat memperoleh kebebasan.

Yesus mengetahui maksud jahat orang-orang Farisi ini. Ia juga mengetahui bahwa Musa memperbolehkan perceraian justru untuk melindungi hak dan martabat kaum wanita. Peraturan Musa ini bukan untuk mendorong/memberi hak istimewa kepada orang Yahudi untuk menceraikan istrinya. Perceraian pada jaman nabi Musa diizinkan demi mentolerir suatu kesalahan karena kekerasan hati mereka. Maka perceraian tidak pernah sesuai dengan rencana awal Allah Bapa saat menciptakan laki-laki dan perempuan.

Namun Yesus mengembalikan ajaran ini kepada hakekat perkawinan seperti yang ditentukan Allah dari semula, pada awal penciptaan dunia. “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.” (Kej. 2:24). Allah telah menentukan sejak semula, bahwa kesatuan perkawinan tidak terceraikan.

Prinsip teologis yang mendasari pendapat Yesus ialah maksud Pencipta dalam menjadikan lelaki dan perempuan, yakni agar mereka bersatu dan janganlah hubungan yang dikehendaki Pencipta diabaikan. Pengajaran Yesus ini mengingatkan agar kita tidak terpancang pada huruf, melainkan lebih berpegang pada prinsip-prinsip hidup di hadapan Allah.

Ayat 7-9: Perkawinan adalah ikatan seumur hidup
Allah adalah Arsitek Agung perkawinan. Sejak semula Allah sudah membuat ketetapan atau ketentuan bagi umatNya untuk memulai atau membentuk rumah tangga. Ketentuan atas perkawinanan tersebut adalah:

1. Meninggalkan (segi resmi).
Sebelum menikah kedua mempelai terikat dan merupakan bagian dari orangtua masing-masing. Untuk memasuki jenjang pernikahan mereka masing-masing harus bersedia “meninggalkan” orangtuanya. Barangsiapa yang belum “siap” meninggalkan orangtuanya, pada dasarnya belum siap untuk memasuki perkawinan.

Setelah berumah tangga, yang paling “dekat” dengan suami atau isteri bukan lagi orangtuanya, bukan pula teman-temannya, tetapi pasangan hidupnya. Jadi, orangtua kedua belah pihak pun harus merelakan anak-anaknya memasuki suatu kehidupan yang baru. Tidak lagi terlalu jauh mencampuri urusan rumah tangga anak-anaknya.

2. Bersatu (segi cinta) & Menjadi Satu Daging (segi seks)
Hubungan suami-isteri dalam pernikahan adalah hubungan yang bersifat :
Permanen (seumur hidup, tidak terceraikan, sampai maut memisahkan).
Jadi pernikahan bukan sesuatu yang bisa dianggap main-main. Jika ada perbedaan, itu hal wajar. Perbedaan itu mungkin sulit untuk disatukan tetapi akan dapat diatasi karena bersatunya cinta dari dua orang yang berbeda, cinta-lah yang dapt mengalahkan perbedaan-perbedaan itu.

Eksklusif (khusus untuk mereka berdua, tidak ada tempat untuk pria idaman lain, wanita idaman lain atau orang ketiga). Nas diatas mengatakan, “…bersatu dengan isterinya…”;  bukan bersatu dengan tetangga atau dengan wanita atau pria lainnya. Dalam pernikahan Kristen tidak boleh ada perselingkuhan. Ingatlah bahwa Allahlah yang merencanakan dan menetapkan pernikahan dari orang-orang percaya!

Total dan Intim (menyangkut tubuh, jiwa dan roh)
Karena itu masing-masing pasangan harus menyerahkan tubuhnya, hatinya bahkan jiwanya secara total hanya untuk pasangannya, yaitu pasangan yang telah ditetapkan Allah kepadanya. Seperti dua lembar lembar kertas yang dilem lalu disatukan, melekat tak terlepas, bersatu secara total.

Dalam jawabanNya atas pertanyaan orang-orang Farisi apakah boleh seseorang menceraikan isterinya karena alasan apa saja, Yesus berkata: “Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia" (Matius 19:6; Markus 10:9). Yesus disini memberi kesimpulan hukum pernikahan yang telah ditetapkan Allah sejak semula, yang tetap berlaku hingga sekarang ini dan juga sebagai hukum Kristus.

Jim E. Waldron mengomentari pernyataan Yesus ini demikian:
Hukum Kristus ini memberikan dua fakta jelas: (1) Allah yang menyatukan atau mengikat dalam pernikahan; dan (2) apa yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia. Dari kedua hal di atas, pertama kita tahu bahwa pernikahan bukan semata-mata suatu bentuk kesatuan yang Anda lakukan sendiri. Ketika dua orang menikah, mereka tidak hanya masuk ke dalam sebuah perjanjian antara keduanya, tetapi juga dengan Allah. Dengan kata lain, janji (sumpah) mereka tidak hanya kepada satu sama lain tetapi di hadapan Allah dengan penuh tanggung-jawab kepada Allah... Dalam pernikahan, dua orang tidak hanya menyatukan diri bersama, mereka juga diikat oleh Allah... Fakta kedua yang dinyatakan di atas adalah...tidak ada seorangpun, tidak ada hukum, tidak ada hakim, tidak ada juri, dan tidak ada orang yang terikat hukum atau di luar dari hukum yang mempunyai hak untuk masuk di antara seorang laki-laki dan isterinya yang dinikahi secara hukum” (Waldron, 1998:38).

Perlu diingat juga bahwa pernikahan sebagai ikatan seumur hidup bukan berarti mengesampingkan pelanggaran yang terjadi dalam pernikahan, yaitu perzinahan (Matius 19:9; 5:32; Markus 10:1,12) ataupun peristiwa alamiah yang menimpa pernikahan, yaitu matinya salah seorang pasangan suami atau isteri ketika masih dalam ikatan hukum pernikahan (Roma 7:2,3).

Ayat 10-12: Perceraian yang diikuti perkawinan adalah dosa
Penegasan Yesus, seorang suami berzinah terhadap perempuan yang diceraikannya, amat mengagetkan. Yesus memandang perempuan dan lelaki setara dalam hak dan kewajiban. Ditegaskan, bila seorang perempuan menceraikan suaminya lalu menikah lagi, maka perempuan itu bertindak zinah terhadap suaminya. Pernyataan Yesus bahwa istri dapat menceraikan suami, sangat kontroversial! Hukum agama Yahudi tidak mengenal hal ini. 

Ayat 13-15: Menyambut Kerajaan Allah seperti seorang anak kecil
Tuhan Yesus adalah satu-satunya sumber berkat, karena itu orangtua bertanggung jawab membawa anak-anaknya kepada Tuhan untuk diberkati. Tanggung jawab gereja adalah menyingkirkan setiap penghalang berkat bagi anak-anak dan hamba-hamba Tuhan mengikuti teladan Yesus yang menumpangkan tangan atas anak-anak untuk memberkati. 

Dalam hal ini, Tuhan Yesus menjelaskan pentingnya memiliki iman seperti anak kecil. Pada umumnya, seorang anak mempercayai orang tuanya tanpa menunggu persetujuan akal budi. Anak kecil menikmati ketergantungan kepada orang tua tanpa merasa direndahkan. Beriman berarti percaya penuh dan bergantung penuh kepada yang dipercayai tanpa menunggu persetujuan akal. Iman yang tulus tanpa keraguan itulah yang menjadi persyaratan bagi kita untuk bisa menjadi warga Kerajaan Surga.

Refleksi
Jangan mencobai Tuhan dengan mengambil Firman Tuhan dan memakaikannya sesuai dengan kehendak kita, atau sebagai penguat atas keinginan pribadi kita. Pelajaran dari orang Farisi harus kita petik; mereka begitu menguasai Taurat sampai akhirnya berkutat dengan teori tetapi tidak melakukannya, lebih jauh lagi; mereka memakai pengetahuan itu untuk pembenaran terhadap kesalahan atau dosa yang mereka perbuat – bahkan menguji untuk menjatuhkan orang.

Perkawinan menjadikan sepasang laki-laki dan perempuan satu dalam suatu hubungan perjanjian. Hal ini lebih kuat dari suatu kontrak, karena perjanjian yang dibuat oleh Allah. Ingatlah tulisan yang terdapat di toko-toko, “Barang yang sudah dibeli tidak bisa dikembalikan!” kalau barang yang dibeli saja tidak dapat dikembalikan, koq malah manusia gampang diceraikan?!

Orang Kristen pada masa kini perlu kembali kepada iman yang sederhana, yaitu iman sepeti yang dimiliki oleh anak-anak. Iman orang Kristen pada masa kini menghadapi berbagai ancaman. Pertama, ancaman pendewaan akal budi. Akal budi menjadi penentu utama benar salah (etika) dan keyakinan (doktrin). Kepercayaan yang dianggap tidak masuk akal ditinggalkan. Kedua, ancaman pendewaan kebebasan. Pendewaan kebebasan membuat manusia tidak mau dikenai batas-batas moralitas dengan dalih bahwa kebebasan merupakan bagian dari hak asasi manusia. Pendewaan kebebasan membuat manusia tidak mau menundukkan diri di bawah otoritas (wewenang) Allah dan Firman-Nya. Amin.

Postingan Terkait



0 komentar: